JURNALBANTEN.CO.ID, CILEGON – Ikatan Mahasiswa Cilegon (IMC) mengutuk keras tindakan represif oknum aparat Kepolisian terhadap peserta aksi saat menyampaikan pendapat di depan umum diperingatan HUT Banten ke 23 tahun, pada 4 Oktober 2023 kemaren.
Ketua IMC Arifin Solehudin mengatakan, tindakan represif oleh oknum aparat Kepolisian pada aksi gabungan yang dilakukan Aliansi Gerakan 4 Oktober (GETOK) saat menyampaikan aspirasi di depan umum itu, salah satunya dialami oleh Kader IMC, Bento Setiawan.
“Kami mengutuk keras tindakan represifitas apapun dalil yang dibenarkan oleh negara. Meskipun aparat Kepolisan merupakan penegak hukum, bukan berarti mereka berhak semena-mena apalagi sampai memukul, mencekik, menggunakan senjata. Karena pada dasarnya masa aksi bukan penjajah, kita hanya menyampaikan aspirasi untuk bagaimana kita bisa mewakili masyarakat,” kata Arifin kepada wartawan, Kamis, (5/10/2023).
Arifin menuturkan, tindakan represif oknum aparat itu menjadi ancaman bagi tegaknya demokrasi terutama dalam menyampaikan pendapat di depan umum.
“Oknum seperti ini merupakan ancaman khusus bagi demokrasi, alih-alih melindungi kemerdekaan berpendapat, mereka justru terkesan menjadi alat kekuasaan dengan melakukan tindakan represi terhadap para aktivis,” ujarnya.
Atas kejadian tersebut, lanjut Arifin, IMC yang tergabung dalam Aliansi GETOK, mengidentifikasi adanya dugaan tindakan melawan Hukum dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia diantaranya:
1. Adanya tindakan represif kepada peserta aksi saat menyampaikan aspirasi di ruang Rapat Paripurna DPRD Provinsi Banten ketika PJ Gubernur berpidato. Salah satu perserta aksi tersebut Bento hanya menyuarakan pendapat sehingga penangkapan terhadap peserta aksi merupakan pelanggran HAM.
2. Tindakan aparat kepolisian, PAMDAL, dan Satpol PP yang melakukan tindakan kekerasan berupa menyekik, memukul, dan diseret ketika diamankan.
3. Tindakan oknum aparat Kepolisian yang melakukan tindakan represif berupa memukul menggunakan pentungan sehingga menyebabkan luka lebam dan berdarah.
4. Tidak ada tanggungjawab yang terjadi untuk bagaimana mengobati luka yang disebabkan oleh tindakan represif yang dilakukan aparat.
Tindakan tersebut, kata Arifin, menunjukan apatisme oknum aparat dalam mengedepankan nilai-nilai humanisme yang dianggap teleh melenceng dari Peraturan Kapolri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Pengendalian Massa,
“Termasuk Peraturan Kapolri Nomor 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, serta Nomir 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia,” katanya.
“Sedangkan, menurut Pasal 7 Peraturan Kapolri 16 tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa, aparat dilarang untuk bersikap arogan dan terpancing oleh massa, melakukan pengejaran massa secara perorangan, hingga mengucapkan kata-kata kotor dan memaki pengunjuk rasa,” ucapnya.
Padahal, menurut Arifin, aksi unjuk rasa menyampaikan pendapat di muka umum sebagai perwujudan kebebasan berekspresi adalah bagian dari hak asasi manusia yang dilindungi oleh konstitusi.
“Itu jelas disebutkan di Pasal 28E UUD 1945 dan berbagai aturan turunannya, termasuk UU 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, Perkap Tahun 2000 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, dan sebagainya. Karenanya kewajiban mutlak negara melindunginya tanpa terkecuali,” tuturnya. (*)