JURNALBANTEN.CO.ID, SERANG – Ketua PWI Pusat Hendry Ch. Bangun paparkan terkait problematika yang terjadi pada jurnalisme di era digital.
Hal tersebut disampaikan Ketua PWI Pusat periode 2023-2028 Hendry Ch. Bangun saat menjadi pemateri dalam Banten Journalist Training Camp (BJTC) I PWI Banten yang dilaksanakan di Wisata MBS, Curug, Kota Serang, Selasa (24/10/2023).
Hendry menyampaikan, di era digital saat ini, banyak problematika yang terjadi pada jurnalisme, mulai dari SDM hingga permasalahan pada kecepatan informasi yang disampaikan untuk publik.
Wartawan, kata Hendry, adalah profesi yang bekerja berlandaskan etika sebagai panduan operasional, mulai dari merencanakan, menggali informasi, menulis berita, dan menyiarkan.
Dalam perencanaan tersebut, ada tiga poin penting, yakni bersikap independen, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Poin penting di penggalian informasi, lanjut Hendry adalah informasi harus faktual dan jelas sumbernya, serta tidak boleh merekayasa gambar, foto, suara; tidak melakukan plagiat, menghormati privasi.
Untuk penulisan, tambahnya, penulisan wajib berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini menghakimi, menerapkan asas praduga tak bersalah.
“Namun fakta yang kita temui, pelanggaran poin-poin tersebut di atas terjadi secara massif dan dianggap hal biasa,” ungkapnya.
Hal itu, ucap Hendry, terjadi karena dalam kekinian terdapat istilah yang disebut post editing, yakni perbaikan berita baru dilakukan apabila ada audiens yang protes, mengadukan kesalahan yang terjadi pada berita yang telah ditayangkan.
Lebih lanjut Hendry menyampaikan, editor tidak menyunting sebelum berita dimuat atau disiarkan, lantaran mengejar waktu dan tidak sanggup memeriksa sekian banyak berita yang dikirim reporter.
“Saat ini dianggap biasa, memuat foto yang tidak terkait berita yang dimuat, dengan alasan untuk ilustrasi. Akibatnya persepsi pembaca/audiens bisa keliru apabila tidak ada penjelasan lengkap di caption foto, dalam kaitannya dengan berita yang dimuat. Karena itu, penting sekali memuat sumber dan waktu foto dibuat, selain menghindari mispersepsi, ada UU Hak Cipta yang wajib kita hormati,” tuturnya.
Selain itu, Hendry juga megatakan, banyak pelanggaran asas praduga tak bersalah, serta memberi labelling kepada seseorang tanpa memahami status.
“Termasuk pelanggaran pedoman penulisan ramah anak dan ramah disabilitas,” ujarnya.
Hendry menuturkan, fenomena malas juga menjadi tantangan tersendiri bagi jurnalis di era digital. Menurutnya, ini terjadi akibat bergesernya ukuran keberhasilan reporter, dari kualitas berita menjadi kuantitas berita.
“Target membuat berita sebanyak mungkin sebagai ukuran keberhasilan seeorang reporter. Kondisi ini membuat reporter memilih jalan mudah dalam mencari berita dengan mengutip informasi dari media sosial pesohor atau selebritas atau situs pribadi, klub, lembaga,” ucapnya.
Akibatnya, ungkap Hendry, reporter jadi malas ke lapangan, karena selain menghemat tenaga, saat ini informasi apapun sudah tersebar di media sosial.
Saat ini, kata Hendry, banyak wartawan sudah berubah menjadi content creator, mengkreasi berita dari mana saja tanpa harus bertemu narasumber dan berkeringan ke lapangan.
“Dulu apa yang dimuat, disiarkan, media massa dikutip dan disebarkan oleh media sosial. Saat ini apa yang dimuat media sosial, viral, malah menjadi sumber informasi bagi media massa,” ucapnya.
Lebih lanjut, Hendry menyampaikan, ketidakadilan yang terjadi pada media akibat dominasi platform global, menyebabkan pendapatan semua jenis media berkurang drastis dalam 5 tahun terakhir.
Kata Hendry, saat ini beriklan di media sosial lebih murah dan lebih menjangkau dibanding dengan media massa, dan sampaikan kapanpun tidak akan kembali ke masa jaya tahun-tahun sebelumnya.
“Masalah ini menjadi tanggungjawab bersama dari masyarakat pers dibantu pemerintah untuk mengurangi peran platform global lewat Publisher’s Right, mungkin sedikit meringankan beban media, tapi belum menyentuh akar masalah,” pungkasnya. (*)
Redaksi