JURNALBANTEN.CO.ID, JAKARTA – Dewan Kehormatan DPP Kongres Advokat Indonesia (KAI) melalui Majelis Kehormatan Advokat (ad hok), nyatakan Evi Silvi Yuniatul Hayati tidak melakukan pelanggaran etik dalam menjalankan tugasnya sebagai pengacara.
Selain tidak terbukti melakukan pelanggaran etik, Majelis Kehormatan KAI juga menilai ada dugaan kriminalisasi yang dilakukan terhadap pengacara Evi Silvi Yuniatul Hayati saat menjalankan tugasnya sebagai advokat.
Hal itu disampaikan dalam sidang putusan Majelis Kehormatan Advokat Adhok KAI antara pemohon, Evi Silvi Yuniatul Hayati yang merupakan advokat pada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pengacara Rakyat Silvy Shofawi Haiz melawan para termohon, Betty Hendrawati warga Serang serta Sobari, Khaerudin dan Muhayaroh warga Cilegon.
Putusan tersebut disampaikan oleh Majelis Kehormatan Advokat (ad hoc) KAI yang diketuai oleh Ibrani Dt Rajo Tianso, dengan anggota majelis Elita P. Lubis dan Julias A. Hidelilo serta panitera Agus Saputra, pada sidang etik yang digelar di Kantor DPP KAI di Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (8/1/2024).
Ketua Majelis Kehormatan Advokat KAI, Ibrani Dt Rajo Tianso menyampaikan, pihaknya telah melakukan persidangan etik terkait dugaan pelanggaran etik dengan mendengarkan keterangan dari pemohon dan termohon. Namun, termohon yang telah diundang tidak hadir.
“Setelah kami membaca persoalan dan dokumen yang disampaikan kepada majelis, maka majelis berkesimpulan bahwa tidak ada pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Evi Silvi Yuniatul Hayati,” kata Ibrani kepada wartawan dalam keterangan pers usai sidang etik di Kantor DPP KAI, Senin (8/1/2024).
Dalam sidang etik tersebut, Ibrani menyampaikan, pihaknya juga menemukan adanya dugaan kriminalisasi terhadap pengacara Evi Silvi yang tengah menjalankan tugasnya sebagai advokat.
“Majelis juga menemukan ternyata betul terjadi kriminalisasi terhadap yang bersangkutan (Evi Silvi) sebagai advokat,” ujarnya.
Ibrani menduga, Advokat LBH Pengacara Rakyat Silvy Shofawi Haiz, Evi Silvi, telah dikriminalisasi melalui putusan Pengadilan Negeri Serang tertanggal 16 Mei 2023 yang mengadili telah melakukan tindak pidana penipuan dengan pidana penjara selama 4 bulan.
Padahal, menurut Ibrani, dalam menjalankan profesinya, seorang advokat dilindungi oleh Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
“Karena, apa yang dia lakukan terkait dengan penerimaan dokumen asli sertifikat itu dilakukan atas dasar surat kuasa, dan itu juga diberikan secara tertulis tanda terimanya, jadi sebetulnya tidak ada alasan untuk menyatakan saudari Silvi ini bersalah, apalagi dituduh sebagai tindak pidana penipuan, karena unsur terpenting dari penipuan itu adalah ketika dia menggunakan martabat palsu. Beliau advokat beneran, beliau mendapat kuasa beneran,” ucapnya.
Usai menjalani hasil putusan PN Serang, Evi Silvi kembali mendapatkan tuntutan atas kasasi yang diajukan oleh penutut umum Kejaksaan Negeri Serang ke Mahkamah Agung (MA) RI.
Dimana dalam amar putusan kasasi MA tertanggal 26 Oktober 2023 itu, MA telah menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi/penuntut umum.
Serta, MA meminta untuk memperbaiki putusan Pengadilan Tinggi Banten yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Serang mengenai pidana yang dijatuhkan kepada Evi Silvi menjadi pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan.
“Karena ini adalah proses hukum, yang bisa membatalkan proses hukum ini adalah Mahkamah Agung dalam proses Peninjauan Kembali (PK), jadi mudah-mudahan hasil dari pada sidang Dewan Kehormatan ini bisa menjadikan semacam petunjuk ataupun sebagai bukti tertulis juga yang bisa digunakan oleh saudari Silvi untuk sebagai tambahan bukti untuk mengajukan PK tersebut,” kata Ibrani.
Namun demikian, Ibrani mempertanyakan isi dalam putusan kasasi MA tersebut, lantaran adanya kesalahan formal dan substansi dalam bunyi amar putusan.
“Ada dua kesalahan yang bersifat formal dan substansi. Secara formal salah dalam menuliskan, disitu disebutkan menolak permohonan kasasi Kejaksaan Negeri Cilegon, padahal yang mengajukan adalah Kejaksaan Negeri Serang,” ujarnya.
“Kedua, di dalam substansi, ini yang sangat krusial, itu Mahkamah Agung telah menyatakan menolak dari pada permohonan kasasi yang diajukan oleh jaksa. Kalau menolak, seharusnya selesai disitu, kecuali dia menerima, bisa menerima sebagian atau menerima seluruhnya,” ucap Ibrani.
“Karena dia (MA) menyebutkan menolak, tetapi di dalam amarnya dia mengatakan memperbaiki. Nah, kalau memperbaiki berarti dia menerima. Karena dia sudah menyatakan menolak, dia tidak berhak lagi untuk mengoreksi. Sehingga dengan demikian, dengan adanya putusan ini (Putusan Kasasi MA), secara hukum itu adalah putusan yang tidak bisa di eksekusi secara hukum,” ungkap Ibrani.
Ditempat yang sama, Anggota Majelis Kehormatan Advokat KAI, Julias A. Hidelilo mengatakan, perkara hukum yang dihadapi oleh Evi Silvi dalam menjalankan tugasnya sebagai pengacara, jelas merupakan kriminalisasi terhadap advokat.
Untuk itu, selain mengajukan PK terhadap kasasi MA, Julias menyarankan agar Evi Silvi yang juga merupakan anggota organisasi advokat KAI, melaporkan dugaan tindak kriminalisasi dalam perkara hukum yang dihadapinya.
“Sebenarnya dalam perkara Ibu Silvi ini bukan hanya dari putusan itu di kriminalisasi, bukan hanya dia melakukan PK terhadap putusan yang telah ada, tapi kalau bisa, sebagai pembelajaran kita bersama, ini klien yang nakal juga ini harus dilaporkan dengan trek posisi peraturan yang ada, kan sudah jelas-jelas diberikan kuasa, tanda terima jelas, surat perjanjian jasa hukum ada semua, tetapi engga tau kenapa, sehingga kriminalisasi itu timbul dari dianya sendiri. Jadi artinya bukan hanya PK, ini harus diberikan pembelajaran,” tuturnya.
Sementara itu, advokat pada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pengacara Rakyat Silvy Shofawi Haiz, Evi Silvi Yuniatul Hayati mengatakan, sebagai seorang advokat, dirinya telah menjalankan profesinya tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Namun, dirinya sangat menyayangkan sikap aparat penegak hukum yang telah menjeratnya melalui perkara hukum meski tengah menjalankan profesinya sebagai advokat.
“Saya sebagai advokat itu dalam menjalankan profesinya itu dilindungi oleh Undang-undang, karena negara kita adalah negara hukum, tentu apa yang dilakukan itu harus berdasarkan hukum. Sementara saya dihukum tanpa dasar hukum,” katanya.
Silvi menuturkan, dalam persidangan pada perkara hukum yang menjeratnya, telah jelas adanya bukti serta fakta yang seharusnya menjadi pertimbangan bagi hakim dalam mengambil keputusan.
“Dalam persidangan itu ada bukti-bukti dan fakta-fakta persidangan yang seharusnya menjadi pertimbangan Majelis Hakim dalam memberikan putusan kepada saya, yaitu salah satunya fakta persidangan dari keterangan ahli yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) yakni Dr Agus yang menyatakan bahwa merekomendasikan kepada penyidik agar sebelum menetapkan saya sebagai tersangka agar dilampirkan surat keputusan dari dewan kehormatan organisasi advokat yang menyatakan saya bersalah, itu yang disampaikan di persidangan,” tuturnya.
Dalam perkara tersebut, lanjut Silvi, dirinya tidak pernah diperiksa oleh dewan kehormatan pada organisasi advokat yang menaunginya yakni KAI.
Padahal, dirinya dituduhkan dengan perkara yang sebenarnya saat itu dia sedang menjalankan tugasnya sebagai seorang advokat.
“Sementara dalam perkara ini, saya tidak pernah diperiksa oleh dewan kehormatan organisasi advokat saya, dan tidak ada satu rekomendasipun yang dilampirkan oleh penyidik untuk menetapkan saya sebagai tersangka,” ujarnya.
“Itu juga merupakan satu kriminalisasi yang dilakukan oleh Majelis Hakim, karena Majelis Hakim tidak boleh mengabaikan fakta-fakta persidangan, dan Majelis Hakim itu harus bersikap netral,” tuturnya.
Untuk itu, meski telah menjalani masa hukuman atas perkaranya berdasarkan putusan awal PN Serang, Silvi kemudian mengajukan permohonan kepada organisasi advokatnya yakni KAI untuk menggelar sidang etik.
Dalam sidang etik tersebut, Silvi merasa lega dengan putusan Majelis Kehormatan KAI yang menyatakan dirinya tidak melakukan pelanggaran etik sebagai seorang advokat dalam menjalankan tugasnya.
“Terkait amar putusan, saya merasa lega, karena saya tidak ingin dalam hidup saya dicap sebagai terpidana. Jelas dalam putusan dari dewan kehormatan advokat, saya dinyatakan tidak melanggar kode etik, itu sudah jelas. Artinya tidak melanggar kode etik ini, segala apa yang dituduhkan dan divoniskan kepada saya, itu dinyatakan cacat hukum dan tidak bisa dieksekusi,” ucapnya.
Atas perkara dan tuduhan serta keputusan dari PN Serang tersebut, Silvi merasa dirugikan lantaran dirinya sedang menjalankan tugas sebagai seorang advokat.
“Dan jelas dengan adanya perkara ini yang mengakibatkan kerugian kepada saya, perkara ini merupakan perkara kriminalisasi yang sangat merugikan saya sebagai advokat,” ujarnya.
Silvi mengaku sangat menyesalkan keputusan atas perkara yang dihadapinya tersebut, karena mengakibatkan kerugian baik secara moril maupun materil.
“Secara materi saya habis banyak uang, belum lagi saya banyak kehilangan pekerjaan, terlebih nama baik saya tercoreng sebagai seorang advokat atau pengacara karena perkara itu. Belum lagi, akibat kejadian itu, ibu saya meninggal, karena saya sedang berada di dalam (sel), engga ada yang mengantar ibu saya ketika sakit,” ucapnya.
“Saya sangat menyesalkan kejadian tersebut, terlebih kepada aparat penegak hukum yang telah dengan sewenang-wenang menggunakan kewenangannya dan memutuskan dengan tidak adil,” katanya.
Untuk langkah selanjutnya, Silvi mengatakan akan mengajukan PK ke MA atas putusan kasasi, dengan dilampirkan hasil sidang etik dari organisasi advokat KAI yang menaunginya.
“Langkah selanjutnya, merupakan suatu bukti novum dan ada kekeliruan hakim dalam amar putusannya, ini akan kami jadikan dasar untuk melakukan upaya hukum, untuk membatalkan putusan yang diberikan oleh Majelis Hakim tingkat Mahkamah Agung, kasasi, jadi saya akan mengajukan Peninjauan Kembali. Selain upaya PK, saya juga akan meminta restitusi, karena putusan dan hukuman yang telah saya jalani telah banyak merugikan saya sebagai warga negara,” pungkasnya. (*)
Redaksi